Setara Institute menilai penyerangan gereja HKI dan Ancaman terhadap puluhan gereja lainnya yang terjadi di Aceh Singkil, adalah pelanggaran HAM serius yang diprakarsai oleh negara, yang direpresentasikan oleh Bupati Aceh Singkil Sapriadi.
"Penyerbuan oleh ribuan orang tersebut dilakukan atas restu dan berdasarkan keputusan Bupati Sapriadi yang didukung oleh pejabat daerah lainnya untuk membongkar gereja-gereja, yang menurutnya merupakan kesepakatan yang dilakukan pada tahun 1979," ujar Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani kepada Beritasatu.com, Selasa (13/10).
Sebenarnya, kata Ismail selain kesepakatan tersebut, terdapat Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh 25/2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah, yang muatannya sangat diskriminatif dan kemudian dijadikan dalih penyerangan. Dengan alasan yang sama, lanjutnya pada Mei 2012 sebanyak 20 tempat ibadah di Singkil juga ditutup oleh warga.
"Apapun dalil para pejabat daerah, penyerangan tempat ibadah adalah bentuk pelanggaran HAM dan pelanggaran hak konstitusional warga negara. Produk hukum yang menjadi dasar penyerangan juga merupakan bentuk pelanggaran HAM (violation by rule) karena mengandung muatan diskriminatif dan bertentangan dengan UU dan UUD Negara RI 1945," jelas Ismail.
Lebih lanjut, Dosen Hukum Tata Negara di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan Setara Institute mengecam keras peristiwa penyerangan terhadap tempat ibadah. Setara Institute juga berduka cita atas meninggalnya 1 orang warga dan yang mengalami luka-luka akibat penyerangan tersebut.
"Setara Institute menyayangkan institusi kepolisian yang justru tunduk pada anarkisme massa. Tidak bisa Polri beralasan kekurangan aparat, karena kabar penyerangan ini sudah beredar sehari sebelumnya. Kegagalan aparat kepolisian menuntut pertanggungjawaban," tegas Ismail.
Kapolri, katanya harus memastikan adanya sanksi bagi Kapolda Aceh dan Kapolres Aceh Singkil yang lalai menjalankan tugas melindungi warga negara.
Setara Institute juga mengingatkan, bahwa peristiwa di Aceh Singkil bukanlah bentrok seperti yang disampaikan oleh Kapolri, tetapi penyerangan warga atas dasar hasutan para penyelenggara pemerintahan daerah dan didasarkan pada keputusan seorang Bupati.
"Setara Institute menyimpulkan, berulangnya peristiwa penyerangan tempat ibadah di Aceh adalah karena kegagalan kepemimpinan Zaini Abdullah dalam mengelola keberagaman di Aceh. Politik penyeragaman atas nama mayoritas dan Islam telah menghalalkan berbagai tindakan kekerasan di Aceh, termasuk penyerangan tempat ibadah," pungkas Ismail.
Yustinus Paat/FQ
0 komentar:
Posting Komentar